November 20, 2010

Renungan: Menjadi Berkat Bagi Sesama

Kejadian 12:1-3

(1) Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;

(2) Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.

(3) Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."


Menjadi Berkat bagi sesama

Cerita ini di mulai dengan panggilan Allah kepada Abraham untuk pergi ke negeri yang Tuhan tunjukkan padanya. Alkitab hanya mencatat, Firman Tuhan kepada Abraham: “pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu…” dan seterusnya. Lihatlah betapa efektifnya panggilan Allah itu dalam diri Abraham, dan Abraham meresponinya tanpa syarat: “maka pergilah Abram seperti yang difirmankan Tuhan”. Allah berinisiatif memanggil Abraham dan mengadakan suatu perjanjian yang besar dengannya. Tidakkah ini adalah hal yang luar biasa? Allah sang pencipta dan berkuasa, mau mengadakan perjanjian dengan ciptaann yang kecil. Abraham bukan siapa-siapa. Abraham tidak kenal siapa Allah sebelumnya, tapi penyataan Allah kepadanya sangat jelas, dan dan dia mentaati apa yang Allah perintahkan kepadanya.

Allah memanggil Abraham untuk keluar dari negerinya karena Allah ingin menjadikan dia: (i) Memiliki negeri yang Allah janjikan (ii) bangsa yang besar, (iii) memiliki nama yang masyur, dan (iv) dipelihara dan diberkati. Lihatlah hal-hal yang akan diterima oleh Abraham: Tanah, Bangsa, Nama dan Pemeliharaan. Bukankah semua orang ingin ke-empat hal ini? tanah, rumah, tempat dimana kita bisa pulang. Ini semua adalah hal yang manusia ingin dapatkan dalam hidupnya, dan Allah memberikannya pada Abraham.

Tapi semua yang dijanjikan Allah kepada Abraham itu sesungguhnya bukan sekedar supaya dia jadi Tuan tanah dan berkuasa, tapi supaya Abraham menjadi berkat! Ternyata berkat-berkat yang Abraham terima itu bukan sekedar untuk dirinya tapi supaya lewat Abraham, yaitu namanya, kebesarannya, dan imannya, orang mendapatkan berkat yang sama dan melihat sumber berkat itu sendiri yaitu Allah. Lewat hidup Abraham, Allah menyatakan diri-Nya, sehingga orang melihat sumber berkat itu.

Kata “berkat” dalam pengertian Alkitab memang bisa berarti secara fisik dan secara rohani; secara materi dan secara imateri. Diberkati memang bisa berarti memiliki tanah, harta, dan kekayaan. Tapi maknanya bukan hanya itu. Ada berkat lain yang sama besarnya yaitu berkat secara rohani, yaitu berada dalam relasi yang erat dengan Allah. Bahkan sebenarnya diberkati secara rohani, jauh lebih berharga daripada diberkati secara materi. Karena orang yang diberkati secara rohani, akan bisa menikmati berkat-berkat materinya. Orang yang diberkati secara rohani adalah orang yang bisa merasakan kasih, penghiburan dan pemeliharaan Allah. Ketika anda memiliki iman dan hidup didalam iman itu, anda adalah orang yang diberkati! Apa gunanya punya banyak materi tapi kita tidak bisa merasakan cinta dan kasih Allah lewat semua itu? Tidak ada artinya bukan?

Itu sebabnya yang ditulis dalam Ibrani tentang Abraham, bukan tentang Abraham yang dapat tanah, dapat nama, dapat kebesaran dan kemasyuran, tapi Ibrani menulis “Karena Iman Abraham taat ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya…” (11:8) Apakah yang membuat Abraham menjadi berkat? bukan sekedar tanah, nama dan kebesaran. Tapi imannya yang meresponi Allah , dan bagaimana ia hidup dalam relasi yang dekat dengan Allah, itulah yang membuat ia menjadi berkat.

Sobat muda, sebenarnya bisa beribadah dan punya kesadaran untuk mempercayakan hidup kita kepada Tuhan saja itu sudah merupakan berkat, dan seharusnya itu memampukan kita juga menjadi berkat bagi orang lain. Orang sering berpikir, kalau kita punya harta dan materi, itu baru berkat. Padahal kalau kita tidak punya kesadaran rasa syukur pada Allah, sebanyak apapun materi yang kita punya, maka semua itupun tidak akan ada artinya, apalagi menjadi berkat buat orang lain. Tapi orang yang sadar betul bahwa hidupnya adalah anugrah Tuhan dan meyakini berkat yang berlimpah dalam hidup rohaninya, maka pastilah orang disekelilingnya akan merasa diberkati karena melihat Allah dalam hidupnya.

November 4, 2010

Renungan: Berkubang dalam luka

Mazmur 147 : 1 - 6

147:1 Haleluya! Sungguh, bermazmur bagi Allah kita itu baik, bahkan indah, dan layaklah memuji-muji itu.

147:2 TUHAN membangun Yerusalem, Ia mengumpulkan orang-orang Israel yang tercerai-berai;

147:3 Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka;

147:4 Ia menentukan jumlah bintang-bintang dan menyebut nama-nama semuanya.

147:5 Besarlah Tuhan kita dan berlimpah kekuatan, kebijaksanaan-Nya tak terhingga.

147:6 TUHAN menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, tetapi merendahkan orang-orang fasik sampai ke bumi.


Berkubang dalam luka

Manusia bukan hanya terdiri dari hal yang fisik, yang kalau luka terasa sakit, tapi kita juga terdiri dari yang non-fisik, yang juga bisa dilukai, tentu tidak selalu dengan benda fisik. Luka yang sifatnya non-fisik itulah yang sering kita sebut sebagai luka batin, karena yang terluka memang ‘batinnya’, yang bahkan bisa membuat kita lebih merana daripadi luka fisik. Kadang sakit fisik lebih mudah diobati dari pada sakit hati. Separah-parahnya kita sakit, masih bisa ditelusuri: dicari bakterinya dimana, jenisnya apa, lalu ditelusuri antibiotic apa yang bisa membunuh bakteri itu. Tapi kalau didalam hati engkau menyimpan rasa sakit hati, kecewa dan dendam, antibiotik apa yang cocok?

Hari ini kita membaca bahwa Allah menyembuhkan orang-orang yang patah hati atau broken in heart dan membalut luka-luka mereka. “Orang-orang yang patah hati” dalam mazmur ini bukan sekedar orang yang punya luka batin karena disakiti orang lain atau rasa kecewa dan kepahitan karena peristiwa hidup yang berat. Memang orang-orang demikian termasuk didalamnya. Tapi yang paling mendasar dari orang yang “broken in heart” adalah orang yang patah hati karena dosa. Jadi mereka adalah orang yang merasa hancur hatinya karena menyadari dosanya. Hati mereka hancur karena mereka sadar bahwa dosa-dosa itu tidak berkenan di hadapan Allah. Orang yang hancur hatinya adalah orang yang sadar dirinya adalah pendosa. Allah akan memulihkan orang yang seperti ini.

Ketahuilah bahwa dalam setiap ‘luka’ yang anda rasakan entah itu rasa kecewa, sakit hati, tidak mau mengampuni, pasti ada unsur dosa didalamnya. Mungkin seseorang mengatakan “itu bukan dosa, karena aku korban! aku disakiti, aku dihina, aku dikhianati”. Lalu biasanya orang seperti ini akan membiarkan dirinya berkubang dalam luka-lukanya, tidak mau keluar dari rasa itu. Bukankah ketidak mampuan kita untuk memaafkan, ketidak sanggupan kita untuk menerima diri kita dan rasa dendam yang menguasai kita, semua itu adalah dosa? Tapi orang yang patah hatinya adalah orang yang mengaku bahwa didalam luka-lukanya ada dosa. Mereka adalah orang yang mengatakan “Tuhan aku begitu kecewa, aku begitu sakit hati, tapi aku tidak tahu harus bagaimana, balutlah luka-lukaku supaya aku lepas dari kekecewaan ini”

Orang yang “broken heart” didalam Mazmur ini adalah orang yang sadar dirinya hancur, dan mengaku bahwa dia membutuhkan Allah. Karena dia tahu dia tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri; dia tahu hanya Allah yang sanggup menyembuhkan dan memulihkan hidupnya. Kalau bintang di langit saja Allah yang menentukan jumlahnya dan nama-namanya, apalagi mengurus luka kita yang kecil ini? Kalau begitu, mengapa masih terus berkubang dalam luka-luka hidupmu?

October 5, 2010

Renungan: Pertobatan yang nyata terlihat buahnya

Lukas 3 : 8 - 17

3:8 Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!

3:9 Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api."

3:10 Orang banyak bertanya kepadanya: "Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?"

3:11 Jawabnya: "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian."
3:12 Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: "Guru, apakah yang harus kami perbuat?"

3:13 Jawabnya: "Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu."

3:14 Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: "Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?" Jawab Yohanes kepada mereka: "Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu."

3:15 Tetapi karena orang banyak sedang menanti dan berharap, dan semuanya bertanya dalam hatinya tentang Yohanes, kalau-kalau ia adalah Mesias,

3:16 Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu: "Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.

3:17 Alat penampi sudah di tangan-Nya untuk membersihkan tempat pengirikan-Nya dan untuk mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung-Nya, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan."



Pertobatan yang nyata terlihat buahnya

Di sekeliling kita banyak barang palsu, nampaknya asli tapi sebenarnya sebuah tiruan. Orangpun senang membeli barang-barang tiruan tersebut yang hadir dalam bentuk perhiasan, baju, tas, dan lain sebagainya. Tapi namanya juga barang tiuran, tetap saja barang tiruan, biarpun bagusnya seperti bentuk aslinya. Manusia pun sudah banyak yang tidak asli, tapi penuh kepalsuan. Misalnya anda tersenyum didepan seseorang, tapi sebenarnya anda sendiri sedang ada kekesalan dengan orang tersebut dan memilih pura-pura tersenyum didepanya. Ini bukan respon yang otentik. Banyak orang Kristen tidak otentik, nampaknya saja asli karena melakukan semua kehidupan ritual di depan publik dengan nyata: ke gereja, ibadah dengan khusuk, memberikan persembahan, dan bernyanyi dengan semangat. Tapi sebenarnya dia tidak sungguh-sungguh, karena respon-respon dalam hidupnya tidak menunjukkan karakter Kristen yang sejati.

Pertobatan juga ada yang asli dan tidak asli, nampaknya saja bertobat, menyesal, minta ampun, tapi dalam hatinya tidak ada perubahan apa-apa. Itu sebabnya Yohanes berteriak supaya orang Israel, sebagai orang yang sudah mengenal Allah, yang bahkan mengaku keturunan Abraham dan mengikat perjanjian dengan Allah, bertobat. Bahkan dalam catatan Matius, disebutkan bahwa yang datang diantara orang-orang itu adalah pemuka agama dan pemimpin masyarakat: orang farisi dan orang saduki. Lalu Yohanes bilang “ hai kamu keturunan ular beludak, siapa bilang kamu dapat melarikan diri dari murka Allah?”. Keturunan ular beludak disini maksudnya adalah orang yang hatinya terpaut pada Iblis dan yang dipenuhi dengan kejahatan, yaitu mereka yang ada dalam keturunan dosa.
Itu berarti Yohanes mau bilang, bahwa tidak berarti kalau seorang ahli agama, dan pemuka masyarakat, bisa lari dari hadapan Tuhan. Orang yang sudah jadi pemuka agama saja, menurut Yohanes harus bertobat dan menunjukkan buah pertobatan. Banyak orang yang sering ke gereja, yang merasa sudah melayani banyak, merasa sudah aman, pasti masuk surga, lalu justru hidup seenaknya aja. Padahal seorang yang sungguh-sungguh Kristen dan sungguh-sungguh bertobat, harus memperlihatkan buahnya. Buahnya itu harus yang otentik, bukan yang palsu dan yang pura-pura, tapi yang sungguh-sungguh. Orang yang sungguh-sungguh bertobat, responnya akan berbeda dengan orang yang pertobatannya hanya pura-pura.

Pertobatan yang sejati menuntut adanya buah. Pertama , Pertobatan yang sejati akan membawa perubahan yang nyata dan menyeluruh dalam hidup seseorang yang dimulai dari hati. Semua memang bermula dari perubahan hati. Karena hati itu pusat hidup dan pusat dari mana segala kehendak dimulai dan keinginan diwujudkan. Kalau hati sudah bertobat, maka seluruh hidup akan terbawa mengalami perubahan juga. Pertobatan dimulai dari yang di dalam, lalu bergerak keluar menjadi sikap, nilai dan perlaku; bukan sebaliknya. Kedua , Pertobatan bukan hanya membawa perubahan di dalam diri kita sendiri secara pribadi, tapi juga membawa perubahan dalam hidup kita dengan orang lain. Jadi dampak pertobatan itu pasti harusnya terasa dan dirasakan oleh orang lain. Yohanes mengatakan, “ kalau kamu punya 2 helai baju, hendaklah ia membagi dengan yang punya.. .kalau kamu pemungut cukai, jangan menagih lebih banyak dari yang ditentukan… kalau kamu tentara, jangan merampas dan jangan memeras orang lain…” Itu berarti pertobatan seseorang bukan hanya mengubah hati, tapi relasi kita dengan orang lain juga jadi lebih baik karena hati yang sudah bertobat, akan punya belas kasihan dan kemauan untuk berbuat yang baik bagi sesamanya.

Bagaimana teman… Sudahkah buah pertobatanmu nyata?

July 12, 2010

Renungan: Kobarkanlah Karunia Allah!

2 Timotius 1:6-8

(6) Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu.

(7) Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.

(8) Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah.


Kobarkanlah karunia Allah!

Ini adalah surat akhir menjelang ajal dari seorang pahlawan rohani, kepada anak rohaninya Timotius. Apa yang Paulus sampaikan tentu adalah hal-hal yang penting, karena dia berpikir, tidak akan pernah bertemu lagi dengan Timotius, dan tidak ada lagi waktu bersama-sama seperti yang sudah pernah mereka lalui. Tentu ini juga menjadi surat yang sangat penting sekali dan harus dibaca oleh semua pemimpin Kristen, pelayan, pekerja, dan siapa saja yang terlibat dalam pelayanan, karena yang berbicara ini adalah seorang yang sudah teruji dalam hidup pelayanannya. Ditengah kondisi menjelang datangnya ajal, Paulus menunjukkan hati yang tetap dipenuhi rasa syukur sebagai orang yang diberi kasih karunia Allah. Bahkan dalam situasi seperti itu Ia masih bersyukur, menaikkan doa permohonan bagi orang lain, bahkan mengobarkan semangat di hati Timotius.

Paulus banyak mendorong Timotius dari berbagai penjuru. Di awal surat ini saja Paulus sudah mengingatkan akan besarnya anugrah Tuhan bagi Timotius karena memiliki Ibu dan Nenek yang memperkenalkan kebenaran Allah kepadanya. Sepertinya Timotius memang orang muda yang lemah, malu-malu, takut, sungkanan, dan tidak berani konfrontasi. Mungkin dia orang yang sangat lembut hatinya, bahkan terlalu lembut untuk sanggup menghadapi kerasnya tantangan disekelilingnya. Tapi sebenarnya di dalam kelemahannya Timotius memiliki banyak karunia, dan Paulus mengatakan bahwa itu harus dikobarkan atau dipakai dengan berani.

Seringkali memang orang yang punya banyak karunia, tidak berani memakainya karena kelemahan karakternya dan tidak punya keberanian untuk memakainya. Jadi nasihat Paulus ini tepat sekali supaya Timotius punya keteguhan dan keberanian untuk memakai seluruh karunia yang sudah diberikan Allah buat dia. Kata ”mengobarkan” bukan berarti ’menyalakan’ tapi membuatnya menjadi besar. Kita sering tahu bahwa kita memiliki karunia dalam banyak hal, tapi memang apa yang kita mengerti itu hanya api yang redup-redup, dan tidak membakar apa-apa di dalam diri kita. Sehingga kita tetap menjadi orang yang tidak punya semangat melayani Tuhan dan mudah sekali mundur.

Ini sebenarya juga menunjukkan bahwa Tuhan memperlakukan kita tidak seperi robot. Tidak berarti kalau kita diberi karunia, kita langsung ”berubah” seperti mendapatkannya dengan ”bimsalabim”. Tapi karunia bekerja lewat diri kita seutuhnya, keluar dalam bentuk minat, gairah, semangat, sehingga karunia itu bekerja. Bahkan ada hal-hal yang harus diperangi untuk tetap membuat karunia itu tetap berkobar. Salah satu yang Paulus ungkapkan disini adalah ”rasa malu”.

Rasa malu sering menguasai diri sehingga performa hidup sering juga tidak maksimal. Ada rasa malu yang harus kita perangi supaya tidak menguasai perasaan kita. Misalnya rasa malu untuk sesuatu yang kita sudah bertobat. Paulus tidak malu mengakui kalau dulu dia begitu bejat, namun dia mendapatkan pengampunan. Justru hal itu membuat Ia memiliki hati yang penuh dengan ucapan syukur karena merasa tidak layak tapi tetap diberi anugerah. Malu karena masa lalu membuat kita tidak bisa bergerak menuju masa depan dan melakukan perkaran besar dalam hidup kita. Rasa malu akan masa lalu seperti penjara yang menghalangi karya-karya yang seharusnya kita hasilkan. Jangan pernah juga merasa malu untuk memuliakan Tuhan sehingga kita seringkali menurunkan standar-standar yang harusnya kita pakai, tapi karena kita malu dianggap aneh oleh komunitas, kita menurunkannya.

Sobat muda, apa yang membuat karunia dalam dirimu menjadi redup? Perangi itu, dan kobarkanlah karunia Allah yang ada padamu!

May 22, 2010

Renungan: Allah Mengingat......

Kejadian 8 : 1 - 4

8:1 Maka Allah mengingat Nuh dan segala binatang liar dan segala ternak, yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu, dan Allah membuat angin menghembus melalui bumi, sehingga air itu turun.

8:2 Ditutuplah mata-mata air samudera raya serta tingkap-tingkap di langit dan berhentilah hujan lebat dari langit,

8:3 dan makin surutlah air itu dari muka bumi. Demikianlah berkurang air itu sesudah seratus lima puluh hari.

8:4 Dalam bulan yang ketujuh, pada hari yang ketujuh belas bulan itu, terkandaslah bahtera itu pada pegunungan Ararat.


Allah Mengingat

Mengingat adalah pekerjaan yang penting. Dalam hidup, kita banyak mengandalkan ingatan untuk memudahkan banyak pekerjaan. Ingatan juga dibutuhkan dalam proses belajar sehari-hari, sehingga kita makin bertumbuh dan makin mengerti banyak hal. Dalam relasi pun ingatan sangat dibutuhkan untuk membangun hubungan yang baik. Sederhana saja, kalau engkau lupa akan hari ulang tahun pacar-mu, tidak kah dia kecewa? Seseorang akan merasa berharga ketika kita mengingat hal-hal penting dalam hidupnya karena ketika kita melakukannya sebenarnya kita sudah menunjukkan bahwa dia cukup penting untuk kita ingat. Banyak hal yang harus kita ingat tapi banyak hal juga yang sering terlupakan karena memang kapasitas kita mengingat sangatlah terbatas. Tapi hari ini kita melihat bahwa Allah mengingat kita dengan tidak terbatas; Dia tidak pernah melupakan apa yang Dia sudah mulai dalam hidup kita.

Cerita air bah ini sampai di satu titik penting yang ada di 8:1 “Maka Allah mengingat Nuh…”. Kata “mengingat” bukan berarti sebelumnya Allah lupa. Ini merupakan suatu ungkapan atau tanda bahwa Allah akan melakukan apa yang memang Ia harus lakukan. Allah membawa Nuh yang ada dalam bahtera untuk sampai di suatu point pemberhentiannya. Sebelumnya bahtera Nuh itu seperti sebuah kotak kecil yang terombang-ambing di tengah air bah yang menutupi bumi. Gambaran air bah yang menutupi bumi mungkin sungguh sulit untuk kita gambarkan dalam benak kita, karena ini bukan sekedar banjir besar atau tsunami yang pernah kita lihat sebelumnya. Bahkan puncak-puncak gunung pun tertutup oleh air bah yang dasyat itu. Betapa kecilnya Nuh dalam bahtera terombang-ambing di tengah kekacauan dan porak porandanya dunia saat itu. Tapi di tengah “chaos” itu, Allah mengingat satu detail kecil namun penting bagiNya, yaitu bahtera Nuh dan segala isinya.

Di tengah kesibukan yang tinggi, pergumulan yang berat dan kekacauan hidup dengan banyak detail, kita sering melupakan banyak hal, bahkan kita lupa akan janji Tuhan bahwa Dia akan selalu memelihara. Tapi se”kacau” apapun hidup kita dan sehebat apapun ‘air bah’ dalam hidup ini, Allah tetap mengingat dan tidak akan pernah melupakan kita. Dia yang maha tahu dapat melihat kedalaman hati kita ditengah chaos nya dunia ini. Ini bukan saja menunjukkan bahwa Ia berkuasa maka Ia sanggup mengingat, tapi juga menunjukkan betapa Ia mengasihi kita. Seharusnya hal ini menjadi penghiburan yang melegakan hati. Orang boleh saja melupakan engkau, tapi Allah tidak pernah begitu…Dia mengingatmu.

February 12, 2010

Renungan: Selalu Ingat Siapa Dirimu

2 Korintus 5:17

(17) Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.


Selalu ingat siapa dirimu

Ada banyak pemimpin yang kita hormati dan junjung tinggi dalam hidup kita, tapi adakah diantara mereka yang begitu dihormati dan disembah sampai kita dapat mengatakan bahwa kita ada “di dalam dia”? Sehebat apapun kuasa seseorang atas hidup orang lain, tapi tidak ada yang dapat meng-klaim bahwa orang lain ada “di dalam” dia. Paulus mengatakan “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru”. Arti “di dalam” harus kita mengerti sebagaimana Alkitab mengungkapkannya secara simbolis pada bagian-bagian lain.

Adam sebagai manusia yang pertama, telah jatuh dalam dosa. Di dalam Adam kitapun diturunkan sebagai manusia berdosa. Seorang Adam telah membuat seluruh manusia jatuh dalam dosa. Demikian juga halnya di dalam Kristus, yang kemudian berdiri sebagai Juruselamat yang menanggung hukuman atas dosa manusia, sehingga di dalam Kristus manusia memperoleh keselamatan dan terbebas dari dosa. Di dalam Kristus berarti di dalam kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, manusia memperoleh keselamatan kekal. Mungkin gambaran yang sedikit lebih mudah dimengerti ada dalam cerita Nuh. Bahtera Nuh adalah prototype Kristus. Di dalam bahtera itu Nuh memasukkan keluarganya dan segala mahluk hidup lainnya, sehingga semua yang ada dalam bahtera itu selamat dari hukuman air bah atas dunia dan isinya ini. Dalam Perjanjian Baru, Kristus menggambarkan hal ini sebagai pohon anggur, dimana Dia adalah Pokok Anggur itu sendiri. Karena pokok anggur inilah maka setiap ranting akan berbuah dengan baik. Di luar Pokok anggur ini ranting-ranting tidak akan menghasilkan apa-apa.

Di dalam Kristus kita menjadi satu dengan kematian-Nya dan kebangkitan-Nya sehingga kita memiliki hidup yang baru: menjadi ciptaan baru. Ada banyak penemuan didalam hidup kita yang kita kagumi, tapi Tuhan Allah menciptakan 2 hal yang paling dahsyat dari pada semua ciptaan dan penemuan, karena tidak ada yang sanggup meniru perbuatan Allah ini. Ciptaan yang pertama adalah ketika Dia mencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Ciptaan yang kedua adalah ketika manusia lama kita disalibkan bersama Kristus dan didalam kebangkitan Kristus mengalami hidup yang baru atau manusia baru. Ini adalah dua ciptaan yang terbesar yang hanya Allah yang bisa melakukannya.

“Ciptaan baru” adalah karakteristik orang yang ada di dalam Kristus. Ciptaan yang baru ini menunjukan adanya suatu perubahan yang radikal dari yang lama menjadi baru, sedemikian rupa sehingga yang lama itu tidak terlihat lagi, diganti yang baru. Dalam manusia lama kita, dosa menjadi gaya tarik yang sangat kuat, sehingga kita diperintah bahkan diperbudak oleh dosa. Sedangkan sekarang ketika di dalam Kristus kita menjadi ciptaan baru maka kita hidup “dipimpin” oleh Roh Kudus. Roh didalam hati kita menjadi gravitasi yang terbesar, yang menuntun kita kepada apa yang baik, yang berkenan di hadapan Allah.

Masalahnya seringkali seseorang yang sudah mengaku lahir baru dan menjadi ciptaan baru, tapi masih melakukan kebiasaannya yang lama dan hidup seakan-akan tidak mengenal Kristus. Mungkinkah hal ini terjadi? Mungkin saja. Analogi yang sama adalah seperti seorang pria yang sudah menikah tapi hidup seakan-akan masih bujangan, tidak mengingat istrinya, dan hidup bersenang-senang dengan teman-temannya sendiri. Baiklah setiap orang mengingat siapa dirinya, bahwa dia adalah orang yang sudah diciptakan kembali di dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Kita perlu mengkoreksi diri kita sekali lagi, bila kita sudah di dalam Kristus dan menjadi ciptaan baru, mengapa kita masih sering bersikap seperti manusia lama yang tidak di dalam Kristus?

The duke of Windsor salah satu ahli waris kerajaan Inggris yang meninggal tahun 1972, menceritakan tentang masa kecilnya. Menurutnya, ayahnya: Raja Goerge V adalah orang tua yang sangat disiplin mendidik dia. Kadang ketika Duke of Windsor berbuat salah, Bapaknya hanya berkata: “my dear boy, you must always remember who you are

Sobat muda, ingatlah siapa kita: yaitu orang yang sudah ditebus dengan darah yang mahal, yang sudah mati bagi dosa dalam kematian Kristus, yang juga dalam pengalaman yang sama dengan kebangkitan Kristus, sehingga kita dianugrahi hidup yang baru.

February 10, 2010

Renungan: Tuhan Memandang Hati, Bukan Parasnya


1 Samuel 16:4-13

(4) Samuel berbuat seperti yang difirmankan TUHAN dan tibalah ia di kota Betlehem. Para tua-tua di kota itu datang mendapatkannya dengan gemetar dan berkata: "Adakah kedatanganmu ini membawa selamat?"

(5) Jawabnya: "Ya, benar! Aku datang untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN. Kuduskanlah dirimu, dan datanglah dengan daku ke upacara pengorbanan ini." Kemudian ia menguduskan Isai dan anak-anaknya yang laki-laki dan mengundang mereka ke upacara pengorbanan itu.

(6) Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: "Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya."

(7) Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."

(8) Lalu Isai memanggil Abinadab dan menyuruhnya lewat di depan Samuel, tetapi Samuel berkata: "Orang inipun tidak dipilih TUHAN."

(9) Kemudian Isai menyuruh Syama lewat, tetapi Samuel berkata: "Orang inipun tidak dipilih TUHAN."

(10) Demikianlah Isai menyuruh ketujuh anaknya lewat di depan Samuel, tetapi Samuel berkata kepada Isai: "Semuanya ini tidak dipilih TUHAN."

(11) Lalu Samuel berkata kepada Isai: "Inikah anakmu semuanya?" Jawabnya: "Masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan kambing domba." Kata Samuel kepada Isai: "Suruhlah memanggil dia, sebab kita tidak akan duduk makan, sebelum ia datang ke mari."

(12) Kemudian disuruhnyalah menjemput dia. Ia kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok. Lalu TUHAN berfirman: "Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia."

(13) Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak itu dan mengurapi Daud di tengah-tengah saudara-saudaranya. Sejak hari itu dan seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud. Lalu berangkatlah Samuel menuju Rama.


Tuhan Memandang Hati, bukan parasnya

Samuel ditugaskan Allah untuk mengurapi raja baru, yang akan menjadi orang nomor satu di Israel memimpin bangsa itu. Dalam benaknya Samuel sudah memiliki persepsi dan perkiraan seperti apakah profil seorang yang akan diurapi menjadi raja itu. Tentulah profil yang ada didalam benak Samuel adalah orang yang sebelumnya pernah Ia lihat dan dengar, yang terdekat tentunya adalah Saul. Semua orang pada waktu itu tentunya memiliki pemahaman yang mirip-mirip tentang siapakah raja pada umumnya. Dia harus seseorang dengan perawakan yang kuat karena seorang raja sudah seharusnya memimpin perang. Dia harus terlihat elok, karena dirinya secara utuh akan menjadi simbol kekuasan tertinggi di tengah negerinya. Dan mungkin ada banyak lagi pemahaman umum yang orang pikirkan tentang raja.

Itu juga yang terjadi pada Samuel. Di dalam benaknya dia sudah punya persepsi tentang profil seorang raja. Pada waktu Eliab muncul, dia berseru dalam hatinya, “..ini dia..!”. Tapi saat itu Allah memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada Samuel, suatu prinsip yang harusnya dimiliki bukan hanya bagi seorang pemimpin rohani seperti Samuel tapi juga semua orang. Allah mengatakan “ Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang didepan mata, tetapi Tuhan melihat hati” Manusia memang mudah sekali tertarik dengan apa yang dilihat dengan matanya. Bahkan kita sering mengukur dan menilai orang lain hanya berdasarkan penampilan fisiknya. Persepsi kita berbicara dan memberikan nilai pada kita tentang apa artinya kulit berwarna hitam, putih dan kuning; apa artinya muka yang selalu serius atau tersenyum manis; apa artinya nada suara yang tinggi, rendah, dan kuat atau lembut; apa artinya pakaian yang mewah atau sederhana, dan lain sebagainya.

Orang menilai kita berdasarkan warna kulit, muka, perawakan, baju yang kita pakai, cara kita berbicara, dan lainnya yang kita tampilkan. Tapi seringkali kita juga terkecoh dengan penglihatan kita akan orang lain. Ada orang yang sepertinya baik dan senyumnya indah, tapi ternyata menjadi orang yang menipu kita. Ada orang yang kita pikir keras dan tidak peduli pada orang lain, ternyata menjadi satu-satunya orang yang menolong kita. Kita memang banyak hidup dalam persepsi, dan seringkali kita mandasari pemahaman tentang orang lain berdasarkan persepsi itu. Itulah yang sering menimbulkan kecurigaan dan kesalahmengertian, bahkan dinding yang tebal didalam komunitas untuk bisa saling mengenal dan menghargai satu sama lain.

Tidak demikian cara Allah melihat dan menilai kita. Allah melihat kepada hati. Mengapa hati? Karena hati adalah pusat yang menentukan seluruh perilaku kita. Keadaan hati kita akan tercermin dalam seluruh tingkah laku dan perkataan kita. Karena penilaiannya ada pada hati, maka pilihan Allah ini menjadi seperti tidak cocok dengan seluruh kriteria yang ada dalam pikiran Samuel tentang profil ideal seorang raja. Bukannya orang yang memiliki perawakan hebat dan tangguh, Allah malah memilih Daud yang terkecil dan termuda dari anak-anak Isai. Penampilan Daud sama sekali tidak mirip seorang petarung apalagi Raja, sampai-sampai Goliath menghina dia karena mukanya yang halus dan kemerah-merahan.

Sobat muda, Alkitab memberikan kesaksian bahwa Allah memang sering memilih orang-orang yang sepertinya tidak diperhitungkan. Dia memilih Rahab seorang perempuan pelacur untuk menyelamatkan orang Israel. Dia memilih Yefta yang memiliki masa lalu yang kelam dengan dibesarkan ditengah-tengah kumpulan perampok untuk memimpin orang Israel. Bahkan diantara banyak bangsa yang lebih maju dan beradab, Allah malah memilih keturunan Abraham yang saat itu hanyalah sekumpulan budak-budak yang dibawa Allah keluar dari Mesir dan menjadi bangsa Israel- Umat Allah.

Siapapun kita dan apapun yang orang pikirkan tentang kita, bersykurlah karena Tuhan tidak melihat kita seperti umumnya manusia melihat kita. Siapapun kita, kalau hati kita sungguh-sungguh dipersembahkan bagi Tuhan, maka di tangan-Nya kita akan menjadi apa saja seturut kehendak-Nya.

January 4, 2010

Renungan: Menjadi Besar dengan Cara Melayani

Matius 20 : 26 - 28

20:26 Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,

20:27 dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;

20:28 sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."


Menjadi Besar dengan Cara Melayani

Tahun yang baru, resolusi yang baru! Itulah yang biasanya kita pikirkan ketika memasuki tahun yang baru. Paling tidak kita akan menetapkan resolusi yang lebih baik atau pencapaian yang lebih tinggi lagi dari pada tahun lalu. Boleh kah kita punya keinginan menjadi orang yang lebih besar dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar juga? Bolehkah di tahun yang baru ini kita ingin menjadi orang yang lebih hebat dari tahun yang lalu? Tentu boleh, bahkan seharusnya demikian. Di awal tahun yang baru ini kita harus punya keinginan untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dari apa yang tahun lalu sudah kita buat.

Kalau anda seorang karyawan, anda harus meningkatkan kinerja yang lebih baik lagi dengan disiplin yang lebih tinggi dan target2 kerja yang lebih besar. Kalau anda seorang guru atau dosen, anda harus memperbaharui kuliah yang anda sampaikan dan mengembangkan metode baru yang efektif dalam pembelajaran. Kalau anda seorang pemimpin, anda harus menemukan inovasi baru yang menggairahkan orang-orang yang anda pimpin untuk menjadi lebih efektif lagi. Kalau anda seorang pelayan Tuhan di gereja, maka anda juga harus memikirkan pekerjaan yang lebih besar, dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar yang bisa engkau ambil, lebih besar dari tahun yang lalu.

Tuhan Yesus mengatakan “ Barang siapa ingin menjadi besar diantara kamu…” Itu berarti tidak salah untuk menjadi besar. Tapi yang Tuhan peringatkan disini adalah ‘cara’ yang dilakukan untuk menjadi besar. Apa yang “besar” dalam konsep kerajaan Allah ternyata berbeda dengan konsep dunia ini mengejar untuk menjadi besar. Bila kita, atau ketika kita ingin menjadi besar, maka ada cara tertentu yang Tuhan sudah tetapkan dan tidak ada cara lain untuk mencapai kebesaran itu.

Dunia ini mengajarkan pada kita bagaimana cara untuk mencapai sukses dan besar. Kenyataan memperlihatkan pada kita, orang saling sikut untuk bisa mencapai kedudukan tertentu, saling fitnah dan menjatuhkan supaya bisa menduduki posisi tertentu. Orang harus mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya untuk mencapai suatu ukuran kesuksesan. Itulah pembelajaran yang seringkali diberikan oleh dunia ini.

Tapi Tuhan punya cara sendiri yang seharus dilakukan oleh warga kerajaan Allah yang mengejar kebesaran, yaitu: Yang menjadi besar adalah dia yang melayani.

Menjadi pelayan itu berarti menjadi hamba, atau dalam tatanan masyarakat pada waktu itu disebut budak. Budak itu hidupnya hanya bekerja memberi pelayanan bagi orang lain tanpa ada kredit sedikitpun diberikan padanya. Bahkan orang tidak bilang “terima kasih” pada budak, dan seorang budak tidak terpikirkan oleh nya untuk menuntut apresiasi dari orang yang dia layani. Sekarang Tuhan mengatakan yang terbesar adalah orang yang menempatkan dirinya sebagai budak ditengah sesamanya.

Maksud Tuhan tentu bukan supaya murid-murid semua menjadi budak dan di jual ke pasar, karena Tuhan pun hadir dalam komunitas saat itu dalam format atau status sebagai guru, bukan budak. Yang dimaksud disini adalah, menjadi hamba yang melayani harus menjadi suatu format cara pikir kita dalam melakukan apa saja, sehingga melayani menjadi paradigma hidup. Apapun profesi yang kita kerjakan, apapun tanggung jawab yang sedang kita pegang, seharusnya kita lakukan dengan hati yang “melayani”. Kita sering berpikir sempit tentang apa yang disebut “melayani” seakan hanyalah sebatas aktifitas dan kedudukan di gereja. Padahal ‘melayani’ harus menjadi cara hidup dalam keseluruhan hidup kita. Kalau anda seorang karyawan, maka bekerjalah sebagai seorang yang melayani, yang memberikan terbaik dari apa yang anda bisa lakukan. Dengan cara itulah kita menjadi orang yang “besar”. Bukankah kalau kita bekerja sungguh-sungguh, belajar sungguh-sungguh, dan memberikan yang terbaik , maka kita juga akan mendapatkan”upah” yang baik juga? Tapi semua upah itu adalah bonus, bukanlah tujuan atau goal. Tujuan hidup kita adalah melayani Tuhan.

Anda mau menjadi besar? Ayo kerjakan hal-hal yang besar, tapi dengan cara dan motivasi yang benar, yaitu dengan hati yang melayani.