January 15, 2013

Renungan: Domba di tengah Serigala

Matius 10:16

(16)Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.


Domba di tengah Serigala

Orang Kristen dan penderitaan adalah suatu hal yang sangat dekat. Karena memang ketika kita memiliki iman percaya kita, maka resiko terbesar dari hidup keseharian kita adalah penderitaan. Kenapa? Karena kita hidup di dunia yang berdosa, dan ada ditengah orang berdosa. Tapi kita adalah orang yang sudah di tebus dan sedang berjuang untuk tidak berdosa lagi. Dengan demikian, kalau kita sungguh-sungguh orang Kristen, kemungkinan besar, bahkan bisa dipastikan, kita akan bertemu dengan benturan antara prinsip dan nilai kekristenan kita dan nilai dunia ini. Kalau tidak, kemungkinan besar, kita sudah banyak kompromi dan melepaskan banyak hal, sehingga semua berjalan dengan nyaman. Bahkan 2 Timotius 3;12 mengatakan: Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.

Ini sudah menjadi rumusan bahwa orang yang mengikut Kristus sungguh-sungguh akan mengalami penderitaan. Penderitaan ini bukan hanya cerita kaum misionari yang ada di pedalaman atau di daerah – daerah yang sulit untuk injil masuk. Penderitaan ini bukan sekedar cerita kaum martir yang telah mati dihukum karena iman mereka. Tapi ini juga cerita milik orang biasa seperti kita. Seorang karyawan yang tidak pernah mendapatkan promosi dalam karirnya hanya karena dia orang Kristen. Atau seorang anak muda yang tetap mempertahankan hidupnya bersih walaupun orang di sekelilingnya hidup rusak. Melihat dosa ada di depan mata kita saja, seharusnya membuat hati kita tidak anak dan merasa sesak karena orang jahat ada disekitar kita.

Dalam keadaan yang sulit inilah di tengah dunia yang seringkali bertentangan dengan kebenaran-kebanaran yang kita miliki, Tuhan Yesus mengatakan, ”sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Mungkin pada umumnya kita berpikir bahwa ular itu konotasinya licik dan cenderung nipu. Itu pemahaman kita tentang ular. Tapi orang dijaman itu tahu, bahwa ular tidak identik dengan itu. Ada pemahaman ilmu orang mesir yang melihat ular sebagai binatang pandai, bijak, dan punya banyak skill untuk melindungi dirinya dan sanggup masuk ke tempat-tempat sulit. Dalam terjemahan lain, dikatakan “ be wise as serpent, harmless as dove” .Kata yang lebih tepat adalah “bijak”. Inilah sikap orang Kristen seharusnya dalam menjalani hidup ditengah-tengah srigala. Menyatakan kebenaran, ditengah dunia yang bengkok ini dengan bijak dan tulus.

Orang yang bijak adalah orang yang tahu tempat dan waktu dalam menyatakan kebenaran. Bijak itu berkaitan dengan kemampuan kita mengerti kehendak Allah. Bijak itu tidak semata suatu intelegensi yang tinggi, atau suatu kemampuan berpikir tingkat tinggi, tapi daya tangkap kita akan kehendak Allah, sehingga kita tahu kapan kita bicara, kapan kita diam, kapan kita menetap, dan kapan kita harus pergi. Orang yang bijak akan mengkomunikasikan segala sesuatu dengan ketulusan dan kejujuran, bahkan menyatakan kebenaran dengan tulus tanpa ada agenda pribadi.

Bukan hanya bijak, tapi juga “harmless”, dalam arti tidak berbahaya, tidak mengancam, tidak ada kekerasan, bahkan cenderung tidak berdaya. Memang ini menjadi ciri khas anak-anak Tuhan: tidak melawan. Aneh bukan? Tapi memang “tidak melawan” itu lebih mengundang pesona, ketimbang “menyerang balik”. Bila kita disakiti orang, kita kecenderungan balik membalas bukan? Sikap tidak sepertinya memang kelihatan bodoh, tapi sebenarnya orang yang menanggung dan diam itu adalah orang yang kuat. Dengan itulah dia akan tetap terus menyatakan kebenaran.

Kita diutus ke tengah srigala, itu memang bukan pengalaman enak. Fakta bahwa kita adalah domba-domba, menunjukkan bahwa ada Gembala kita yang tidak pernah meninggalkan kita. Walaupun kita ada ditengah srigala, kita tidak takut, karena gembala kita, menyertai kita dan tidak akan membiarkan kita sendirian. Tapi memberikan kita kemampuan, dan mencukupi kita. Jangan pernah tawar hati bila anda sekarang sedang mengalami tekanan. Anda ingin menjadi orang benar dan orang baik, tapi hidup ini terlalu sulit dan keras, percayalah Gembala tidak pernah meniggalkan kita.

January 1, 2013

Renungan: Nyatakan dengan Kasih


1 Korintus 8: 1-3

(1) Tentang daging persembahan berhala kita tahu: "kita semua mempunyai pengetahuan." Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun.

(2) Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu "pengetahuan", maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya.

(3) Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah.


Nyatakan dengan Kasih

Orang Indonesia hidup dengan berbagai tradisi dan kepercayaan. Bahkan sebagai orang Kristen sendiri kita masih banyak terikat dengan hal-hal tersebut. Tradisi dan budaya mengikuti kita terus karena kita dalam banyak hal terikat dengan keluarga sebagai sentral keberadaan kita. Karena adat dan tradisi itu, orang Kristen seringkali diperhadapkan dengan pertanyaan “boleh atau tidak boleh”. Bolehkah membawa persembahan untuk leluhur? Bolehkah berziarah dan berdoa di depan orang yang sudah mati? Bolehkah ikut serta dalam upacara-upacara yang melibatkan kepercayaan kepada roh orang mati? Seringkali pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab, karena melibatkan hubungan dengan keluarga dan juga tugas dan tanggung jawab yang terurai didalamnya. Bila tidak mengikuti upacara tertentu maka keluarga akan menganggap kita tidak mengasihi dan menghormati orang tua.

Kebanyakan orang menginginkan suatu format baku yang dapat diterapkan dalam setiap konteks dan masalah, sehingga tidak perlu pusing lagi memikirkan atau menganalisa untuk menjawab suatu perbuatan boleh atau tidak boleh. Tapi pada kenyataannya memang tidak bisa demikian. Kehidupan keseharian kita dalam menanggapi budaya memang suatu perjuangan yang menuntut kesadaran tinggi, upaya sungguh-sunguh dalam memberikan yang terbaik bagi hormat dan kemuliaan Tuhan.

Ada beberapa sikap yang harus terus kita pertahankan dalam menanggapi budaya di tengah dunia kita yang berdosa ini: Pertama, seseorang memang harus memiliki pemahaman yang benar akan kebenaran Firman Tuhan, supaya terbebas hati nuraninya dari ikatan apapun. Kebenaran Firman Tuhan akan meyakinkan kita bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari Kasih Allah yang sudah dianugerahkan pada kita. Sehingga didalam kasus orang Korintus , Paulus mengatakan: “makanan tidak membuat kita lebih dekat dengan Allah. Kita tidak rugi apa-apa kalau tidak memakannya, kita tidak untung apa-apa kalau kita memakannya”. Jadi dalam hal makan makanan penyembahan berhala ini, daging-daging itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap keselamatan jiwa kita. Allah sudah menganugerahkan keselamatan yang kekal, kasih-Nya diberikan di dalam iman percaya kita kepada Yesus. Sehingga makan daging seperti itupun tidak akan membuat kita kehilangan keselamatan. Karena yang membuat kita selamat, bukanlah makanan itu,tapi iman kepada Kristus.

Tapi tidak cukup seseorang hanya mengerti dan punya pengetahuan bahwa Kristus adalah Juru selamat satu-satunya, bahwa kita sudah diselamatkan oleh darah-Nya yang mahal, lalu kita hidup untuk diri kita menikmati keselamatan itu. Paulus menegaskan memiliki pengatahuan dengan seperti itu membuat orang jadi sombong. Orang percaya memang sudah bebas dari ikatan apa saja. Tapi kebebasan ini tidak serta merta kita gunakan hanya untuk diri kita sendiri. Kebebasan itu adalah anugerah, bukan untuk dipakai seenaknya, tapi justru membuat orang Kristen lebih sungguh-sungguh. Ini prinsip yang kedua, bukan hanya memiliki pemahaman, tapi juga kasih. Setiap kita harus berpikir bahwa “apa yang saya lakukan bukan hanya untuk diri saya sendiri, tapi ada orang-orang disekitar saya yang melihat saya, dan kalau saya sembarangan berbicara, maka saya bisa menjadi batu sandungan buat mereka”. Bila kita, karena karena kita berpikir sudah terbebas dari ikatan apapun, kita ikut memberikan persembahan kepada leluhur, kita harus sadar bahwa tindakan itu akan membuat orang yang yang masih baru iman Kristen nya menjadi lemah.

Cara hidup orang Kristen memang cara hidup yang memikirkan orang lain. Dengan demikian juga ketika seseorang menolak untuk memberi hormat didepan kuburan leluhurnya dengan keyakinan bahwa tindakan itu akan membelokkan penyembahannya kepada Allah, maka diapun harus menyampaikannya kepada keluarganya dengan kasih, dan tidak menjadi batu sandungan. Keributan antar anggota keluarga karena ada yang mempertahankan kebenaran dengan sombong dan merendahkan orang lain membawa dampak yang jauh lebih buruk lagi. Bila kita punya pengetahuan, ingatlah tidak semua orang punya pengetahuan seperti itu. Ada orang yang memang sudah mengaku percaya, tapi dalam beberapa hal masih terikat dengan adat istiadat yang sebenarnya bertentangan dengan keyakinan iman, tapi juga belum sanggup untuk berdiri tegak.  

Teman, mari belajar menyampaikan pengetahuan kita dengan kasih, supaya jangan jadi batu sandungan, tapi justru pendorong supaya orang lain bertumbuh.

July 17, 2012

Renungan: Memandang Rendah Karena Sukunya

Bilangan 12 : 1 - 15

12:1 Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush.

12:2 Kata mereka: "Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" Dan kedengaranlah hal itu kepada TUHAN.

12:3 Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.

12:4 Lalu berfirmanlah TUHAN dengan tiba-tiba kepada Musa, Harun dan Miryam: "Keluarlah kamu bertiga ke Kemah Pertemuan." Maka keluarlah mereka bertiga.

12:5 Lalu turunlah TUHAN dalam tiang awan, dan berdiri di pintu kemah itu, lalu memanggil Harun dan Miryam; maka tampillah mereka keduanya.

12:6 Lalu berfirmanlah Ia: "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi.

12:7 Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku.

12:8 Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa TUHAN. Mengapakah kamu tidak takut mengatai hamba-Ku Musa?"

12:9 Sebab itu bangkitlah murka TUHAN terhadap mereka, lalu pergilah Ia.

12:10 Dan ketika awan telah naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena kusta, putih seperti salju; ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka dilihatnya, bahwa dia kena kusta!

12:11 Lalu kata Harun kepada Musa: "Ah tuanku, janganlah kiranya timpakan kepada kami dosa ini, yang kami perbuat dalam kebodohan kami.

12:12 Janganlah kiranya dibiarkan dia sebagai anak gugur, yang pada waktu keluar dari kandungan ibunya sudah setengah busuk dagingnya."

12:13 Lalu berserulah Musa kepada TUHAN: "Ya Allah, sembuhkanlah kiranya dia."

12:14 Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Sekiranya ayahnya meludahi mukanya, tidakkah ia mendapat malu selama tujuh hari? Biarlah dia selama tujuh hari dikucilkan ke luar tempat perkemahan, kemudian bolehlah ia diterima kembali."

12:15 Jadi dikucilkanlah Miryam ke luar tempat perkemahan tujuh hari lamanya, dan bangsa itu tidak berangkat sebelum Miryam diterima kembali.


Memandang Rendah Karena Sukunya

Miryam dan Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush (Bilangan 12:1)

Ada 2 orang datang mendekat kepada penjual baju dan kain khas Bali yang tergelar ramai di Kuta. Yang satu adalah seorang turis perancis, yang lainnya adalah turis lokal dari Surabaya. Sang penjual begitu antusias melayani turis yang berkulit putih ini, karena dalam pikirannya, turis asing ini punya uang yang lebih banyak ketimbang turis lokal. Tapi ternyata orang bule itu hanya melihat-lihat barangnya, mencoba disana dan disitu, tapi tak satupun yang ia beli. Ketika turis bule itu pergi, barulah dia berpaling kepada sang turis lokal yang masih sibuk memilih sendiri barang-barang yang ia cari. Akhirnya turis local ini membeli beberapa kain dan membayarnya. Ini pemandangan yang biasa terjadi di tempat-tempat wisata di negeri kita. Bangsa kita ini masih banyak melihat orang dari warna kulitnya. Padahal itu semua hanyalah warna kulit!

Konon katanya orang Kush yang dinikahi oleh Musa itu, kulitnya berwarna hitam legam. Tapi sebenarnya orang Israel juga engga putih-putih amat! Namun demikian Miriam dan Harun, seperti yang Alkitab kisahkan, mengata-ngatai Musa karena istrinya orang Kush. Padahal Musa itu adalah pemimpim besar bangsa Israel, orang yang kepadanya Allah berkenan, dan memiliki persahabatan yang erat dengan Allah. Miriam memandang rendah Musa, karena dia memandang rendah istri Musa yang orang Kush itu.

Hari ini kita melihat sikap Allah terhadap orang seperti Miriam. Allah tidak suka dengan sikap itu. Sikap yang memandang rendah orang lain karena kesukuannya. Mungkin dimata Miriam, orang Kush yang hitam legam itu sangatlah rendah dan tidak pantas untuk adiknya. Padahal Allah sendiri tidak bilang apa-apa soal perempuan Kush yang diambil Musa. Malah Allah akhirnya menghukum Miriam yang sudah terlalu berani menghina Musa dengan menjadi kusta. Ironi sekali…Miriam yang mengata-ngatai Musa karena perempuan Kush yang hitam legam itu, sekarang menjadi putih sekali, tapi putih karena seluruh tubuhnya kena Kusta!

Jangan melihat orang lain dan merendahkan mereka dimatamu hanya karena kulit warnanya. Kadang pikiran ini sudah tertanam di kepala kita, kita harus lepaskan cara pikir seperti itu, karena Allah tidak memandang dengan cara demikian.

June 16, 2012

Renungan: Keadilan Allah ditengah Carut Marut Keadilan di Negeri Kita

Ulangan 32 : 3 - 4

32:3 Sebab nama TUHAN akan kuserukan: Berilah hormat kepada Allah kita

32:4 Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia.


Keadilan Allah ditengah Carut Marut Keadilan di Negeri Kita

Akhir-akhir ini kata “keadilan” menjadi topic yang hangat di negeri kita. Kasus yang melilit institusi seperti KPK, POLRI dan Kejaksaan, menjadi berita-berita yang hangat dan terus dibicarakan orang. Dalam diri manusia memang ada “sense of Justice” atau rasa keadilan. Kita marah ketika mendengar ada orang bisa melenggang dan bebas dari hukuman yang harusnya dia terima, hanya karena dia sanggup membayar semua pihak yang terkait dalam penegakan hukum. Walau manusia punya rasa keadilan, tapi konsep keadilan manusia sudah diwarnai oleh dosa, dan dalam konsep keadilan versi manusia ini, kita sering tidak konsisten atau tidak adil. Berbicara tentang keadilan membuat kita seringkali merasa pesimis, karena di negeri kita terlalu banyak Hakim yang tidak adil, Polisi yang tidak jujur, dan Jaksa yang berkonspirasi. Kalau seperti ini perangkat keadilan di negeri kita, maka tidak heran banyak penderitaan yang kita alami dalam hidup dikarenakan ketidakadilan orang terhadap kita. Tapi puji Tuhan, perangkat keadilan yang kita temui di tengah-tengah kita itu bukanlah satu-satunya keadilan tertinggi dalam hidup kita. Ada keadilan yang lebih tinggi nilai nya dan mengatur secara penuh dan berkuasa atas seluruh hidup manusia, itulah Keadilan Allah.

Musa sedang mengajarkan suatu nyanyian yang isinya tentang pengajaran-pengajaran penting sebelum mereka masuk ke tanah yang Tuhan janjikan. Dalam nyanyian yang panjang ini, salah satu yang dibicarakan adalah tentang keadilan Tuhan. Pertama, Musa mengingatkan kita bahwa Allah yang menyatakan keadilanNya adalah Allah yang maha tinggi. Ketundukan kita secara total pada keadilan Allah menjadi sikap mendasar sebelum kita berserah pada keadilanNya. Mungkin sekeliling kita menjerat kita dengan tidak adil, tapi kalau kita punya pengakuan dan ketundukan adanya keadilan yang lebih tinggi, maka kita akan tetap memiliki harapan di dalam Tuhan. Kedua, Keadilan Allah ini adalah keadilan yang dapat kita andalkan sepenuhnya, karena Dia adalah “gunung batu” yang pekerjaanNya sempurna. “Gunung batu” adalah ungkapan untuk menjelaskan natur Allah sebagai pelindung yang kuat, dan sebagai landasan yang tidak tergoyahkan. Mengapa masyarakat cenderung bersikap pesimis terhadap keadilan di negeri kita, karena masyarakat melihat bahwa pihak-pihak yang seharusnya menegakkan hukum tidak dapat diandalkan, tidak kokoh dan mudah sekali dikendalikan. Tapi Allah yang adil adalah Allah yang tidak tergoyahkan, yang pekerjaanNya sempurna dan tidak pernah salah. Ketiga, Keadilan Allah selalu merupakan kebenaran, atau dengan kata lain, keadilan Allah selalu berjalan bersama dengan kebenaranNya, bahkan keadilan Allah berjalan bersama dengan Kasihnya.

Sahabat, dalam hidup yang sering tidak adil ini, kita harus punya keyakinan bahwa keadilan yang tertinggi adalah keadilan Allah. Sehingga ketika engkau mengatakan “this is not fair” kepada manusia, ingatlah masih ada lagi keadilan yang lebih tinggi. Namun kita juga harus sadar bahwa ketika keadilan Allah yang kita andalkan, maka kita juga harus bersikap adil pada sesama kita. Jangan pernah merugikan orang, menipu, memfitnah, mencelakakan, atau apa saja, karena keadilan Allahpun akan diberlakukan atas kita ketika kita berbuat dosa. Keadilan Allah ini harusnya membuat kita gentar, dan tidak mau sedikitpun memberi tempat pada perbuatan dosa. Kita memang tidak hidup dalam jaman Ananias dan Safira, yang berbuat dosa langsung mati di tempat, tapi itu menjadi peringatan yang sangat keras bahwa keadilan Allah berlaku juga atas kita.

Kalau Dia adalah Allah yang Adil, mengapa kita masih berani berbuat dosa?

April 10, 2012

Renungan; Jadilah Teladan

Yohanes 13:4-5

(4) Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya,

(5) kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.



Jadilah Teladan

Dunia ini sering mengajarkan kita memimpin dengan kuasa, dengan status, dengan kedudukan. Itu sebabnya pemahaman yang umumnya orang milki tentang kepemimpinan adalah berkaitan erat dengan “kedudukan” atau “status”. Sehingga ketika orang bicara tentang kepemimpinan, kita berpikir itu tidak relevan untuk kita karena kita merasa diri kita tidak punya jabatan dan kedudukan apa-apa dalam kepemimpinan. Ini pemikiran yang salah: kepemimpinan tidak harus berjalan didalam jabatan atau status atau kedudukan. Karena ada orang-orang tertentu dalam komunitas yang tidak punya jabatan dan status kepemimpinan dalam komunitasnya, tapi pendapatnya selalu didengar dan diikuti oleh orang sekitarnya.

Disini kita melihat Tuhan Yesus memimpin tidak dengan power, status, jabatan, kedudukan. Tapi Dia memimpin dengan teladan. Apakah yang Kristus lakukan? Dalam ayat 4-5 yang kita baca, terdapat beberapa kata kerja yang penting yang menjelaskan apa yang Tuhan lakukan: “bangun, menanggalkan, mengambil, mengikat, menuangkan dan membasuh”. Dia tidak bicara, bahkan tidak pakai kata pengantar dari apa yang dilakukanNya.

Sebenarnya mencuci kaki bukanlah pekerjaan seorang “pemimpin” tapi budak. Di rumah orang-orang Yahudi selalu ada air didepan rumah, dan seorang budak bertugas mencuci kaki tamu-tamu yang masuk. Sepertinya tidak ada budak di rumah itu. Tapi mengapa harus Tuhan? Di Lukas 22:24 murid-murid sedang berdebat, siapakah yang terbesar diantara mereka. Tentu tidak ada yang terpikir buat mereka untuk mengambil posisi budak dan mencuci kaki orang lain karana masing-masing mereka sibuk memikirkan posisi dan kedudukan yang terbesar diantara mereka.

Disini kita melihat pola kepemimpinan Kristus yang memimpin dengan teladan. Teladan bukan suatu perbuatan tersembunyi. Teladan itu nyata, tapi juga bukan “pamer”. Suatu tindakan yang sifatnya “pamer” tidak akan jadi teladan. Teladan akan membuat orang lain terinspirasi, tercerahkan dan tersadarkan. Ini berbeda dengan “pamer”. Karena pamer dilakukan bukan supaya orang lain tersadarkan, tapi supaya orang tersebut meninggikan dirinya. Tindakan “pamer” tidak akan lama, karena orang yang melakukan perbuatan baik hanya untuk mendapatkan simpati, cepat atau lambat akan merasa lelah, bahkan jadi mundur ketika orang lain tidak memperhatikanya, karena tujuannya memang untuk diperhatikan.

Tuhan pernah mengatakan “ikutlah Aku”, itu berarti menyangkut seluruh kehidupan termasuk karakter dan perbuatan Kristus. Dia merupakan model yang kita tiru yang memimpin kita ke arah seperti Dia. Model harus ditiru dari jarak dekat! Supaya tidak salah tiru. Kristus memberi diri menjadi teladan, maka Dia hidup dekat dengan orang-orang sekelilingNya. Demikian juga dengan mencuci kaki, ini adalah suatu tindakan yang membutuhkan posisi tubuh yang sangat dekat sekali. Kita tidak akan bisa jadi teladan bila kita berdiri jauh tinggi di menara gading. Kristus sendiri harus turun ke dunia, menjadi pribadi yang dekat dan ber-relasi secara “personal” dengan orang di sekelilingnya.

Teladan memang harus dilihat dari dekat! Tapi resikonya kalau dilihat dari dekat, maka ada resiko menerima penghinaan, tidak dihargai dan dimanipulasi oleh orang yang dengannya kita ber-relasi. Tapi bukankah itu juga yang terjadi pada Tuhan Yesus ketika Dia berada di tengah-tengah manusia yang melihat Dia dari dekat? Dari tempat yang kudus Dia turun ke dunia supaya orang melihat Dia dari dekat. Tapi setelah dekat, orang memanipulasi Dia: hanya minta berkatNya tapi tidak minta pengampunanNya, bahkan menyalibkan Dia.

Sahabatku, walau resikonya berat, tapi mari belajar menjadi teladan bagi orang-orang yang sehari-harinya ada disekitar kita. Sudahkah perbuatan dan perkataan anda memimpin orang kepada Tuhan? Sudahkah orang lain tercerahkan pikirannya, atau terinspirasi dengan kehidupan yang transparan yang jelas terlihat dalam hidup anda?

October 4, 2011

Renungan: Sebuah Karya Berbasis Kesombongan

ejadian 11 : 1 - 9

11:1 Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya.

11:2 Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana.

11:3 Mereka berkata seorang kepada yang lain: "Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik." Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan ter gala-gala sebagai tanah liat.

11:4 Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi."

11:5 Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu,

11:6 dan Ia berfirman: "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.

11:7 Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing."

11:8 Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.

11:9 Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.


Sebuah Karya Berbasis Kesombongan oleh Kak Astri Sinaga

Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan (Amsal 16:18)

Apa yang salah dengan pembangunan menara Babel ini? Mengapa Tuhan Allah kemudian menghentikan usaha itu? Anak-anak manusia itu berkata, “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi” (ayat 4). Menara yang sedang dibangun ini adalah menara yang mereka ingin ketinggiannya mencapai langit. Langit disini artinya “heaven” atau surga, tempat Tuhan Allah bertahta. Lalu mereka ingin juga menamai menara itu. Apa artinya?

Sebenarnya yang mereka bangun bukan sekedar menara, tapi suatu berhala, yang bisa menduduki surga, dan memiliki nama yang dapat mereka sembah dan mempersatukan mereka. Bila menara ini berdiri, berarti mereka memiliki sebuah kekuatan yang nyata yang memerintah dan mempersatukan mereka layaknya berhala. Dengan demikian mereka tidak membutuhkan Allah lagi, mereka melakukan segala sesuatunya sesuka hati mereka.

Sobat muda, walaupun kita ini bisa menghasilkan karya-karya yang baik, contoh pembangunan menara babel menunjukkan bahwa kita sering menghasilkan karya-karya kita untuk kesombongan kita. Kita membangun prestasi yang bagus dalam studi dan pekerjaan kita dengan motivasi supaya orang menghormati kita. Kita melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik, supaya orang memuji-muji kita. Itu semua adalah suatu pekerjaan yang lahir dari kesombongan, dan Tuhan Allah tidak suka akan kesombongan kita.

Dia yang berkuasa dan yang memberikan kita kapasitas berkarya, berarti Dia juga sanggup menghentikan segala karya kita begitu saja kalau kita mendasari setiap karya kita dengan kesombongan. Pikirkan hari ini, apakah “aku punya motivasi kesombongan dalam pekerjaan-pekerjaan yang sadang aku lakukan?”