October 26, 2008

Renungan: Dibutuhkan keberanian untuk bicara kebenaran

Dibutuhkan keberanian untuk bicara kebenaran

Yehezkiel 2:1-7


(1) Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, bangunlah dan berdiri, karena Aku hendak berbicara dengan engkau."

(2) Sementara Ia berbicara dengan aku, kembalilah rohku ke dalam aku dan ditegakkannyalah aku. Kemudian aku mendengar Dia yang berbicara dengan aku.

(3) Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, Aku mengutus engkau kepada orang Israel, kepada bangsa pemberontak yang telah memberontak melawan Aku. Mereka dan nenek moyang mereka telah mendurhaka terhadap Aku sampai hari ini juga.

(4) Kepada keturunan inilah, yang keras kepala dan tegar hati, Aku mengutus engkau dan harus kaukatakan kepada mereka: Beginilah firman Tuhan ALLAH.

(5) Dan baik mereka mendengarkan atau tidak--sebab mereka adalah kaum pemberontak--mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka.

(6) Dan engkau, anak manusia, janganlah takut melihat mereka maupun mendengarkan kata-katanya, biarpun engkau di tengah-tengah onak dan duri dan engkau tinggal dekat kalajengking. Janganlah takut mendengarkan kata-kata mereka dan janganlah gentar melihat mukanya, sebab mereka adalah kaum pemberontak.

(7) Sampaikanlah perkataan-perkataan-Ku kepada mereka, baik mereka mau mendengarkan atau tidak, sebab mereka adalah pemberontak.


Dan engkau, anak manusia, janganlah takut melihat mereka maupun mendengar kata-katanya, biarpun engkau di tengah-tengah onak dan duri dan engkau tinggal dekat kalajengking. (Yehezkiel 2:6a)

Sobat muda, Alkitab menceritakan kehidupan Yehezkiel di tanah pembuangan sebagai kehidupan yang sangat keras. Dia tinggal di tengah orang-orang yang melawan Allah, tidak mau diajar, bahkan menentang Yehezkiel sebagai nabi dan imam mereka. Bayangkan saja kalau kamu berjalan di tengah onak duri yang pastinya akan membuat kakimu penuh dengan luka-luka, walaupun mungkin tidak mematikan. Atau kalau kamu berjalan di dekat kalajengking, tentu kamu harus berhati-hati, karena yang satu ini bisa mematikan kalau tersengat. Begitulah Tuhan menggambarkan perkataan orang-orang yang ada di sekitar Yehezkiel, yang menyakitkan, dan dengan sengaja memberontak kepada Allah. Dengan perkataan orang bisa memfitnah, menghina, menyakiti, bahkan membunuh! Tentu saja yang dibunuh bukan fisiknya tapi karakternya.

Mungkin kamu sering mendengar perkataan-perkataan yang tidak enak di tengah-tengah komunitas dimana kamu berada, yang menyakiti hatimu bahkan menjadi fitnah untuk mu. Entah kenapa, semakin kita mempertahankan kemurnian iman dan sikap hidup kita, perkataan miring dan bernada fitnah malah datang pada kita. Bisa datang dari teman, rekan kerja, bahkan dari anggota keluarga sendiri. Sepertinya itu sudah menjadi rumusan kehidupan.
Orang yang menekan, mempertanyakan, merendahkan, dan menyalah artikan hidup kita selalu ada di sekitar kita. Orang-orang seperti itu jugalah yang ada di sekitar Yehezkiel. Tapi Allah mengutus Yehezkiel kesana. Dan nasihat Allah adalah “jangan takut!” Nasihat ini tepat sekali, karena perkataan-perkataan keras dan menyakitkan dari orang lain dapat membuat mental kita ciut, dan membuat kita terdiam, dan akhirnya kita tidak berani menyatakan kebenaran. Allah meneguhkan Yehezkiel untuk menjadi saksi yang berani dan berani berbicara menyatakan kebenaran Allah.

Memang dibutuhkan keberanian untuk bisa berbicara menyatakan kebenaran. Dunia ini semakin banyak dipenuhi orang yang “diam” walaupun dia tahu kebenaran, dengan alasan “strategi” dan “kebijaksanaan”. Padahal intinya bukan itu. Diamnya mereka lebih kepada menyelamatkan diri, tidak taat pada Tuhan, bahkan kekejian hati mereka. Banyak orang jadi menderita karena perbuatan orang yang “diam” melihat dosa. Bahkan banyak kawan-kawan kita yang tetap hidup dalam dosa jadi makin menggila dengan dosanya, justru karena kita “diam” melihat dosanya.

Memang ada waktunya diam. Tapi kalau Tuhan mau kita bicara, kita harus bicara! Walaupun satu kata saja keluar dari mulut kita bisa mendatangkan serangan balik yang bertubi-tubi bagi diri kita. Tapi kalau kebenaran Tuhan harus dinyatakan, maka tidak boleh ada yang menghentikannya.

September 10, 2008

Renungan: "Am I My Brother's Keeper?"

Kejadian 4 : 1 - 16

4:1 Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: "Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN."

4:2 Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani.

4:3 Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan;

4:4 Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu,

4:5 tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.

4:6 Firman TUHAN kepada Kain: "Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?

4:7 Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya."

4:8 Kata Kain kepada Habel, adiknya: "Marilah kita pergi ke padang." Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia.

4:9 Firman TUHAN kepada Kain: "Di mana Habel, adikmu itu?" Jawabnya: "Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?"

4:10 Firman-Nya: "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah.
4:11 Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu.

4:12 Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi."

4:13 Kata Kain kepada TUHAN: "Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung.

4:14 Engkau menghalau aku sekarang dari tanah ini dan aku akan tersembunyi dari hadapan-Mu, seorang pelarian dan pengembara di bumi; maka barangsiapa yang akan bertemu dengan aku, tentulah akan membunuh aku."

4:15 Firman TUHAN kepadanya: "Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat." Kemudian TUHAN menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapapun yang bertemu dengan dia.

4:16 Lalu Kain pergi dari hadapan TUHAN dan ia menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden.


"Am I My Brother's Keeper?"

Firman Tuhan kepada Kain: ”Dimana Habel adikmu itu?” Jawabnya: ”aku tidak tahu, apakah aku penjaga adikku?”(Kejadian 4:9)

Ini peristiwa yang tragis. Kain membunuh adiknya. Allah bertanya pada Kain, “Kain, dimanakah adikmu?” Dan orang yang sudah membunuh adiknya ini menjawab “apakah aku penjaga adikku?”. Dengan menjawab ini, Kain ingin mengatakan 2 hal: pertama, dengan mengatakan demikian berarti Kain menganggap Allah lah yang semestinya menjaga Habil, bukan dia, atau dengan kata lain dia mau bilang “kenapa tanya aku? Harusnya Engkau dong Allah yang maha tahu dan menjaga adikku dimana aja!”

Kedua, dengan demikian berarti Kain juga menolak bertanggung jawab terhadap saudaranya, dia mau mengatakan bahwa dirinya tidak ada kait mengait dengan adiknya. Pikiran Kain adalah pikiran orang berdosa, yang bukan saja menyembunyikan dosanya sendiri, tapi bahkan dengan terang-terangan menolak tanggung jawab untuk menjadi sesama bagi saudaranya. Kain menolak bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan saudaranya. Ironi sekali…orang yang menolak tanggung jawab hidup bersama ini, akhirnya dihukum dengan menjadi pengembara, atau orang asing.

Kawan, kita tidak hidup sendiri! Tuhan menjadikan kita hidup bersama dengan orang lain. Coba pikirkan, apapun yang kita lakukan adalah selalu terkait dengan kesejahteraan, kedamaian dan keselamatan orang lain. Dimana saja kita berada, baik di tempat kerja, di kampus, bahkan di rumah, ada orang-orang lain yang hidup bersama dengan kita. Semua yang kita lakukan haruslah selalu menjadi sesuatu yang berdampak baik dan membangun bagi orang disekeliling kita.

Tuhan juga akan tanya kepada kita “kenapa temanmu hidupnya morat-marit seperti itu?”, apakah kamu akan bilang juga, “mana aku tahu?? emangnya aku tukang jaga temanku?”

August 9, 2008

Renungan: Rindu Dipakai Tuhan

1 Samuel 1:23b-28

(23b) Jadi tinggallah perempuan itu dan menyusui anaknya sampai disapihnya.

(24) Setelah perempuan itu menyapih anaknya, dibawanyalah dia, dengan seekor lembu jantan yang berumur tiga tahun, satu efa tepung dan sebuyung anggur, lalu diantarkannya ke dalam rumah TUHAN di Silo. Waktu itu masih kecil betul kanak-kanak itu.

(25) Setelah mereka menyembelih lembu, mereka mengantarkan kanak-kanak itu kepada Eli;

(26) lalu kata perempuan itu: "Mohon bicara tuanku, demi tuanku hidup, akulah perempuan yang dahulu berdiri di sini dekat tuanku untuk berdoa kepada TUHAN.

(27) Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan TUHAN telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya.

(28) Maka akupun menyerahkannya kepada TUHAN; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada TUHAN." Lalu sujudlah mereka di sana menyembah kepada TUHAN.


Rindu dipakai Tuhan

Hana merindukan anak. Hatinya pun merana, karena tidak punya anak di jaman itu adalah suatu kesusahan hidup yang berat. Tapi Hana tahu bahwa Allah lah yang menutup kandungannya sehingga dalam hatinya yang merana itu, dia tidak membuat usaha lain selain datang kepada Allah. Hana berbeda dari pendahulunya, seperti Sarah atau Rachel yang sama-sama mandul tapi mereka berupaya mendapatkan anak dengan cara memberikan budak-budaknya kepada suami mereka. Hana tidak melakukan itu, tapi dia hanya berdoa kepada Allah karena mengakui bahwa hanya Allah saja yang dapat membuka kembali kandungannya. Dalam doa Hana, ia bernazar, bahwa kalau Tuhan memberikan dia anak laki-laki, maka ia akan menyerahkan anak itu bagi Tuhan. Lalu Tuhan menjawab doa Hana dan memberikannya seorang anak laki-laki. Hana yang sudah mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu, memenuhi janjinya dengan menyerahkan anak itu untuk dibesarkan oleh Imam Eli bagi pekerjaan Tuhan.

Kita jadi berpikir, kalau Hana rindu punya anak, mengapa dia minta anak kepada Tuhan, tapi kemudian menyerahkannya untuk dibesarkan oleh Imam Eli? Mengapa merindukannya kalau kemudian dia akhirnya melepaskannya? Disini kita justru melihat bahwa kesedihan Hana sebenarnya bukan hanya semata-mata karena tidak punya anak; tapi dia merasa tidak dapat memberikan apa-apa kepada Tuhan dengan tidak punya anak. Ini membuktikan bahwa Hana bukan sekedar minta anak, tapi dia minta dipakai Tuhan dengan jalan memiliki anak. Jadi kerinduan Hana yang paling mendasar sebenarnya adalah: kerinduan untuk dipakai Tuhan. Hana tahu sebagai perempuan pada jaman itu, memiliki anak adalah suatu kesempatan untuk menjadi alat kemuliaan Tuhan.

Sobat muda, apakah kerinduanmu yang paling mendasar di dalam hidup ini? Kerinduan Hana yang sangat mendasar adalah : dipakai oleh Tuhan untuk kemuliaanNya. Kerinduan Hana ini dibawa dalam doanya; dalam doanya Hana mengikat janji dengan Tuhan, dan dalam janjinya, Hana memegang teguh komitmennya, sehingga Hana memang dipakai Tuhan melahirkan seorang pemimpin besar bangsa Israel yaitu, Samuel.

Kita punya banyak kerinduan. Rindu juga membuat seseorang akan rela berjalan jauh untuk bisa mendapatkan apa yang ia rindukan. Rindu yang besar akan membuat kita memegang teguh komitmen kita untuk mewujudkannya. Bila anda rindu untuk melayani Tuhan, maka kerinduan itu akan melahirkan kesungguhan dan komitmen yang teguh untuk bekerja bagi Tuhan, betapapun sulitnya. Mengapa orang sering mengatakan “ah saya sibuk, tidak ada waktu untuk pelayanan” ? Sebenarnya yang terjadi adalah, dia tidak punya “rindu untuk melayani Tuhan”. Karena tidak rindu, dia tidak mengupayakannya, apalagi berkomitmen.

Rindukah engkau dipakai Tuhan?