January 6, 2009

Renungan: Tuhan ku-ingin pancarkan kemuliaan-Mu


Mazmur 8

(1) Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur Daud.

(2) Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.

(3) Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.

(4) Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:

(5) apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?

(6) Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.

(7) Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:

(8) kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;

(9) burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.

(10) Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!


Tuhan ku-ingin memancarkan kemuliaan-Mu

Pemazmur sadar betul bahwa dia berdiri di hadapan Allah yang besar dan dahsyat, yang keagungan nama-Nya mengatasi segala yang ada di bumi, bahkan mencapai kemuliaan di surga. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dilihatnya dengan kasat mata tapi dia bisa rasakan kebesaran-Nya. Lalu Pemazmur menjelaskan kebesaran Tuhan ini dengan cara yang unik. Dia mengatakan: “dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah kau letakkanya dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam”. Perhatikan dua hal yang bertolak belakang antara “bayi dan anak-anak menyusui” dengan “musuh-musuh Tuhan” ini perbandingan yang tidak sebanding. Allah menggunakan bayi-bayi dan anak-anak menyusui untuk meletakkan kekuatan-Nya oleh karena keberadaan musuh-musuh-Nya. Berarti keberadaan musuh dan pendendam itu ditanggapi Allah dengan meletakkan kekuataan-Nya bukan pada gunung atau pada ksatria perang, tapi pada bayi dan anak-anak menyusui. Apa arti puisi ini?

Ayat 3 ini berkaitan erat dengan ayat 1-2 yaitu bicara tentang keagungan nama Tuhan. “Musuh dan pendendam” adalah simbol kekuatan manusia, kesombongan dan penonjolan diri. Yang paling mendasar dari musuh dan pendendam ini adalah mereka tidak dapat mengenali dan mengakui keagungan nama Tuhan dan penyataan lewat nama itu. Sebaliknya, “bayi dan anak-anak menyusui” adalah simbol kerendahan hati dan ketidakberdayaan manusia, tapi mereka diberikan kekuatan lebih hebat dari musuh-musuh dengan mengenali keagungan nama Tuhan. Mereka disanggupkan mengenali keagungan Tuhan dan mengerti kebesaran-Nya dan penyataan-Nya. Kesombongan dan pemujaan diri adalah dinding penghalang yang paling utama untuk manusia bisa mengenali Allah dalam hidupnya. Sedangkan bagi orang yang menyadari dosanya dan ketidakberdayaannya, justru kepadanya Allah menyatakan diri-Nya.

Jadi dalam hal ini Pemazmur menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan, tapi itu bukanlah sesuatu kesadaran yang diterima begitu saja, atau diterima karena sekedar pengamatan terhadap langit dan alam semesta, atau kesadaran yang diterima karena perkataan orang lain. Tapi suatu kesadaran yang Allah letakkan dalam hatinya. Ketika kesadaran akan keagungan Tuhan ini muncul, pemazmur juga menyadari hal yang kedua: Pemazmur menemukan betapa kecilnya dan tidak berartinya dia. Tapi dalam kondisi dirinya yang mengaku tidak ada apa-apanya dihadapan Tuhan, justru dia menemukan bahwa Tuhan telah menjadikannya sebagai mahluk yang mulia.

Manusia diberikan tugas yang mulia yaitu menjadi master di tengah ciptaan dan mahluk hidup lainnya. Allah sebagai pencipta mendelegasikan kekuasaan-Nya atas ciptaan lainnnya kepada manusia ciptaan-Nya itu, agar manusi mengelola, mengerjakan, memanfaatkan dengan maksimal. Semua itu dilakukan bukan untuk kemuliaan manusia, tapi bagi kemuliaan Allah yang mencipta. Pemazmur menyadari untuk itulah Ia dicipta: menjadi kemuliaan Allah.

Sobat muda, kalau kita juga dicipta dengan tujuan seperti itu, maka tentulah itu mempengaruhi seluruh perilaku, sikap dan cara kita hidup. Betapa mengharukan bila kita mengingat bahwa Dia yang mulia dan berkuasa mau memakai kita yang yang hina sebagai pancaran dan pantulan kemuliaan-Nya. Pemazmur memulai dengan “ ya Tuhan, Tuhan kami betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi” dan kemudian pada bagian akhir ditutup dengan “Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” Kemuliaan itu sejatinya berawal dari Tuhan. Tuhan yang memberikan kemuliaan pada manusia, kembalinya kepada kemuliaan Tuhan juga.  

Biarlah semua yang kita kerjakan dalam hidup ini hanya untuk kemuliaan Allah, karena memang untuk itulah kita hidup: Memancarkan kemuliaan Tuhan.