Bilangan 12 : 1 - 15
12:1 Miryam serta Harun mengatai
Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia
telah mengambil seorang perempuan Kush.
12:2 Kata mereka:
"Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah
dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?" Dan kedengaranlah hal itu
kepada TUHAN.
12:3 Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.
12:4
Lalu berfirmanlah TUHAN dengan tiba-tiba kepada Musa, Harun dan Miryam:
"Keluarlah kamu bertiga ke Kemah Pertemuan." Maka keluarlah mereka
bertiga.
12:5 Lalu turunlah TUHAN dalam tiang awan, dan berdiri
di pintu kemah itu, lalu memanggil Harun dan Miryam; maka tampillah
mereka keduanya.
12:6 Lalu berfirmanlah Ia: "Dengarlah firman-Ku
ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan
diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam
mimpi.
12:7 Bukan demikian hamba-Ku Musa, seorang yang setia dalam segenap rumah-Ku.
12:8
Berhadap-hadapan Aku berbicara dengan dia, terus terang, bukan dengan
teka-teki, dan ia memandang rupa TUHAN. Mengapakah kamu tidak takut
mengatai hamba-Ku Musa?"
12:9 Sebab itu bangkitlah murka TUHAN terhadap mereka, lalu pergilah Ia.
12:10
Dan ketika awan telah naik dari atas kemah, maka tampaklah Miryam kena
kusta, putih seperti salju; ketika Harun berpaling kepada Miryam, maka
dilihatnya, bahwa dia kena kusta!
12:11 Lalu kata Harun kepada
Musa: "Ah tuanku, janganlah kiranya timpakan kepada kami dosa ini, yang
kami perbuat dalam kebodohan kami.
12:12 Janganlah kiranya
dibiarkan dia sebagai anak gugur, yang pada waktu keluar dari kandungan
ibunya sudah setengah busuk dagingnya."
12:13 Lalu berserulah Musa kepada TUHAN: "Ya Allah, sembuhkanlah kiranya dia."
12:14
Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Sekiranya ayahnya meludahi
mukanya, tidakkah ia mendapat malu selama tujuh hari? Biarlah dia selama
tujuh hari dikucilkan ke luar tempat perkemahan, kemudian bolehlah ia
diterima kembali."
12:15 Jadi dikucilkanlah Miryam ke luar tempat
perkemahan tujuh hari lamanya, dan bangsa itu tidak berangkat sebelum
Miryam diterima kembali.
Memandang Rendah Karena Sukunya
Miryam dan Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang
diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush
(Bilangan 12:1)
Ada 2 orang datang mendekat kepada
penjual baju dan kain khas Bali yang tergelar ramai di Kuta. Yang satu
adalah seorang turis perancis, yang lainnya adalah turis lokal dari
Surabaya. Sang penjual begitu antusias melayani turis yang berkulit
putih ini, karena dalam pikirannya, turis asing ini punya uang yang
lebih banyak ketimbang turis lokal. Tapi ternyata orang bule itu hanya
melihat-lihat barangnya, mencoba disana dan disitu, tapi tak satupun
yang ia beli. Ketika turis bule itu pergi, barulah dia berpaling kepada
sang turis lokal yang masih sibuk memilih sendiri barang-barang yang ia
cari. Akhirnya turis local ini membeli beberapa kain dan membayarnya.
Ini pemandangan yang biasa terjadi di tempat-tempat wisata di negeri
kita. Bangsa kita ini masih banyak melihat orang dari warna kulitnya.
Padahal itu semua hanyalah warna kulit!
Konon katanya orang Kush
yang dinikahi oleh Musa itu, kulitnya berwarna hitam legam. Tapi
sebenarnya orang Israel juga engga putih-putih amat! Namun demikian
Miriam dan Harun, seperti yang Alkitab kisahkan, mengata-ngatai Musa
karena istrinya orang Kush. Padahal Musa itu adalah pemimpim besar
bangsa Israel, orang yang kepadanya Allah berkenan, dan memiliki
persahabatan yang erat dengan Allah. Miriam memandang rendah Musa,
karena dia memandang rendah istri Musa yang orang Kush itu.
Hari
ini kita melihat sikap Allah terhadap orang seperti Miriam. Allah tidak
suka dengan sikap itu. Sikap yang memandang rendah orang lain karena
kesukuannya. Mungkin dimata Miriam, orang Kush yang hitam legam itu
sangatlah rendah dan tidak pantas untuk adiknya. Padahal Allah sendiri
tidak bilang apa-apa soal perempuan Kush yang diambil Musa. Malah Allah
akhirnya menghukum Miriam yang sudah terlalu berani menghina Musa dengan
menjadi kusta. Ironi sekali…Miriam yang mengata-ngatai Musa karena
perempuan Kush yang hitam legam itu, sekarang menjadi putih sekali, tapi
putih karena seluruh tubuhnya kena Kusta!
Jangan melihat orang
lain dan merendahkan mereka dimatamu hanya karena kulit warnanya. Kadang
pikiran ini sudah tertanam di kepala kita, kita harus lepaskan cara
pikir seperti itu, karena Allah tidak memandang dengan cara demikian.
July 17, 2012
June 16, 2012
Renungan: Keadilan Allah ditengah Carut Marut Keadilan di Negeri Kita
Ulangan 32 : 3 - 4
32:3 Sebab nama TUHAN akan kuserukan: Berilah hormat kepada Allah kita
32:4 Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia.
Keadilan Allah ditengah Carut Marut Keadilan di Negeri Kita
Akhir-akhir ini kata “keadilan” menjadi topic yang hangat di negeri kita. Kasus yang melilit institusi seperti KPK, POLRI dan Kejaksaan, menjadi berita-berita yang hangat dan terus dibicarakan orang. Dalam diri manusia memang ada “sense of Justice” atau rasa keadilan. Kita marah ketika mendengar ada orang bisa melenggang dan bebas dari hukuman yang harusnya dia terima, hanya karena dia sanggup membayar semua pihak yang terkait dalam penegakan hukum. Walau manusia punya rasa keadilan, tapi konsep keadilan manusia sudah diwarnai oleh dosa, dan dalam konsep keadilan versi manusia ini, kita sering tidak konsisten atau tidak adil. Berbicara tentang keadilan membuat kita seringkali merasa pesimis, karena di negeri kita terlalu banyak Hakim yang tidak adil, Polisi yang tidak jujur, dan Jaksa yang berkonspirasi. Kalau seperti ini perangkat keadilan di negeri kita, maka tidak heran banyak penderitaan yang kita alami dalam hidup dikarenakan ketidakadilan orang terhadap kita. Tapi puji Tuhan, perangkat keadilan yang kita temui di tengah-tengah kita itu bukanlah satu-satunya keadilan tertinggi dalam hidup kita. Ada keadilan yang lebih tinggi nilai nya dan mengatur secara penuh dan berkuasa atas seluruh hidup manusia, itulah Keadilan Allah.
Musa sedang mengajarkan suatu nyanyian yang isinya tentang pengajaran-pengajaran penting sebelum mereka masuk ke tanah yang Tuhan janjikan. Dalam nyanyian yang panjang ini, salah satu yang dibicarakan adalah tentang keadilan Tuhan. Pertama, Musa mengingatkan kita bahwa Allah yang menyatakan keadilanNya adalah Allah yang maha tinggi. Ketundukan kita secara total pada keadilan Allah menjadi sikap mendasar sebelum kita berserah pada keadilanNya. Mungkin sekeliling kita menjerat kita dengan tidak adil, tapi kalau kita punya pengakuan dan ketundukan adanya keadilan yang lebih tinggi, maka kita akan tetap memiliki harapan di dalam Tuhan. Kedua, Keadilan Allah ini adalah keadilan yang dapat kita andalkan sepenuhnya, karena Dia adalah “gunung batu” yang pekerjaanNya sempurna. “Gunung batu” adalah ungkapan untuk menjelaskan natur Allah sebagai pelindung yang kuat, dan sebagai landasan yang tidak tergoyahkan. Mengapa masyarakat cenderung bersikap pesimis terhadap keadilan di negeri kita, karena masyarakat melihat bahwa pihak-pihak yang seharusnya menegakkan hukum tidak dapat diandalkan, tidak kokoh dan mudah sekali dikendalikan. Tapi Allah yang adil adalah Allah yang tidak tergoyahkan, yang pekerjaanNya sempurna dan tidak pernah salah. Ketiga, Keadilan Allah selalu merupakan kebenaran, atau dengan kata lain, keadilan Allah selalu berjalan bersama dengan kebenaranNya, bahkan keadilan Allah berjalan bersama dengan Kasihnya.
Sahabat, dalam hidup yang sering tidak adil ini, kita harus punya keyakinan bahwa keadilan yang tertinggi adalah keadilan Allah. Sehingga ketika engkau mengatakan “this is not fair” kepada manusia, ingatlah masih ada lagi keadilan yang lebih tinggi. Namun kita juga harus sadar bahwa ketika keadilan Allah yang kita andalkan, maka kita juga harus bersikap adil pada sesama kita. Jangan pernah merugikan orang, menipu, memfitnah, mencelakakan, atau apa saja, karena keadilan Allahpun akan diberlakukan atas kita ketika kita berbuat dosa. Keadilan Allah ini harusnya membuat kita gentar, dan tidak mau sedikitpun memberi tempat pada perbuatan dosa. Kita memang tidak hidup dalam jaman Ananias dan Safira, yang berbuat dosa langsung mati di tempat, tapi itu menjadi peringatan yang sangat keras bahwa keadilan Allah berlaku juga atas kita.
Kalau Dia adalah Allah yang Adil, mengapa kita masih berani berbuat dosa?
32:3 Sebab nama TUHAN akan kuserukan: Berilah hormat kepada Allah kita
32:4 Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia.
Keadilan Allah ditengah Carut Marut Keadilan di Negeri Kita
Akhir-akhir ini kata “keadilan” menjadi topic yang hangat di negeri kita. Kasus yang melilit institusi seperti KPK, POLRI dan Kejaksaan, menjadi berita-berita yang hangat dan terus dibicarakan orang. Dalam diri manusia memang ada “sense of Justice” atau rasa keadilan. Kita marah ketika mendengar ada orang bisa melenggang dan bebas dari hukuman yang harusnya dia terima, hanya karena dia sanggup membayar semua pihak yang terkait dalam penegakan hukum. Walau manusia punya rasa keadilan, tapi konsep keadilan manusia sudah diwarnai oleh dosa, dan dalam konsep keadilan versi manusia ini, kita sering tidak konsisten atau tidak adil. Berbicara tentang keadilan membuat kita seringkali merasa pesimis, karena di negeri kita terlalu banyak Hakim yang tidak adil, Polisi yang tidak jujur, dan Jaksa yang berkonspirasi. Kalau seperti ini perangkat keadilan di negeri kita, maka tidak heran banyak penderitaan yang kita alami dalam hidup dikarenakan ketidakadilan orang terhadap kita. Tapi puji Tuhan, perangkat keadilan yang kita temui di tengah-tengah kita itu bukanlah satu-satunya keadilan tertinggi dalam hidup kita. Ada keadilan yang lebih tinggi nilai nya dan mengatur secara penuh dan berkuasa atas seluruh hidup manusia, itulah Keadilan Allah.
Musa sedang mengajarkan suatu nyanyian yang isinya tentang pengajaran-pengajaran penting sebelum mereka masuk ke tanah yang Tuhan janjikan. Dalam nyanyian yang panjang ini, salah satu yang dibicarakan adalah tentang keadilan Tuhan. Pertama, Musa mengingatkan kita bahwa Allah yang menyatakan keadilanNya adalah Allah yang maha tinggi. Ketundukan kita secara total pada keadilan Allah menjadi sikap mendasar sebelum kita berserah pada keadilanNya. Mungkin sekeliling kita menjerat kita dengan tidak adil, tapi kalau kita punya pengakuan dan ketundukan adanya keadilan yang lebih tinggi, maka kita akan tetap memiliki harapan di dalam Tuhan. Kedua, Keadilan Allah ini adalah keadilan yang dapat kita andalkan sepenuhnya, karena Dia adalah “gunung batu” yang pekerjaanNya sempurna. “Gunung batu” adalah ungkapan untuk menjelaskan natur Allah sebagai pelindung yang kuat, dan sebagai landasan yang tidak tergoyahkan. Mengapa masyarakat cenderung bersikap pesimis terhadap keadilan di negeri kita, karena masyarakat melihat bahwa pihak-pihak yang seharusnya menegakkan hukum tidak dapat diandalkan, tidak kokoh dan mudah sekali dikendalikan. Tapi Allah yang adil adalah Allah yang tidak tergoyahkan, yang pekerjaanNya sempurna dan tidak pernah salah. Ketiga, Keadilan Allah selalu merupakan kebenaran, atau dengan kata lain, keadilan Allah selalu berjalan bersama dengan kebenaranNya, bahkan keadilan Allah berjalan bersama dengan Kasihnya.
Sahabat, dalam hidup yang sering tidak adil ini, kita harus punya keyakinan bahwa keadilan yang tertinggi adalah keadilan Allah. Sehingga ketika engkau mengatakan “this is not fair” kepada manusia, ingatlah masih ada lagi keadilan yang lebih tinggi. Namun kita juga harus sadar bahwa ketika keadilan Allah yang kita andalkan, maka kita juga harus bersikap adil pada sesama kita. Jangan pernah merugikan orang, menipu, memfitnah, mencelakakan, atau apa saja, karena keadilan Allahpun akan diberlakukan atas kita ketika kita berbuat dosa. Keadilan Allah ini harusnya membuat kita gentar, dan tidak mau sedikitpun memberi tempat pada perbuatan dosa. Kita memang tidak hidup dalam jaman Ananias dan Safira, yang berbuat dosa langsung mati di tempat, tapi itu menjadi peringatan yang sangat keras bahwa keadilan Allah berlaku juga atas kita.
Kalau Dia adalah Allah yang Adil, mengapa kita masih berani berbuat dosa?
April 10, 2012
Renungan; Jadilah Teladan
Yohanes 13:4-5
(4) Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya,
(5) kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.
Jadilah Teladan
Dunia ini sering mengajarkan kita memimpin dengan kuasa, dengan status, dengan kedudukan. Itu sebabnya pemahaman yang umumnya orang milki tentang kepemimpinan adalah berkaitan erat dengan “kedudukan” atau “status”. Sehingga ketika orang bicara tentang kepemimpinan, kita berpikir itu tidak relevan untuk kita karena kita merasa diri kita tidak punya jabatan dan kedudukan apa-apa dalam kepemimpinan. Ini pemikiran yang salah: kepemimpinan tidak harus berjalan didalam jabatan atau status atau kedudukan. Karena ada orang-orang tertentu dalam komunitas yang tidak punya jabatan dan status kepemimpinan dalam komunitasnya, tapi pendapatnya selalu didengar dan diikuti oleh orang sekitarnya.
Disini kita melihat Tuhan Yesus memimpin tidak dengan power, status, jabatan, kedudukan. Tapi Dia memimpin dengan teladan. Apakah yang Kristus lakukan? Dalam ayat 4-5 yang kita baca, terdapat beberapa kata kerja yang penting yang menjelaskan apa yang Tuhan lakukan: “bangun, menanggalkan, mengambil, mengikat, menuangkan dan membasuh”. Dia tidak bicara, bahkan tidak pakai kata pengantar dari apa yang dilakukanNya.
Sebenarnya mencuci kaki bukanlah pekerjaan seorang “pemimpin” tapi budak. Di rumah orang-orang Yahudi selalu ada air didepan rumah, dan seorang budak bertugas mencuci kaki tamu-tamu yang masuk. Sepertinya tidak ada budak di rumah itu. Tapi mengapa harus Tuhan? Di Lukas 22:24 murid-murid sedang berdebat, siapakah yang terbesar diantara mereka. Tentu tidak ada yang terpikir buat mereka untuk mengambil posisi budak dan mencuci kaki orang lain karana masing-masing mereka sibuk memikirkan posisi dan kedudukan yang terbesar diantara mereka.
Disini kita melihat pola kepemimpinan Kristus yang memimpin dengan teladan. Teladan bukan suatu perbuatan tersembunyi. Teladan itu nyata, tapi juga bukan “pamer”. Suatu tindakan yang sifatnya “pamer” tidak akan jadi teladan. Teladan akan membuat orang lain terinspirasi, tercerahkan dan tersadarkan. Ini berbeda dengan “pamer”. Karena pamer dilakukan bukan supaya orang lain tersadarkan, tapi supaya orang tersebut meninggikan dirinya. Tindakan “pamer” tidak akan lama, karena orang yang melakukan perbuatan baik hanya untuk mendapatkan simpati, cepat atau lambat akan merasa lelah, bahkan jadi mundur ketika orang lain tidak memperhatikanya, karena tujuannya memang untuk diperhatikan.
Tuhan pernah mengatakan “ikutlah Aku”, itu berarti menyangkut seluruh kehidupan termasuk karakter dan perbuatan Kristus. Dia merupakan model yang kita tiru yang memimpin kita ke arah seperti Dia. Model harus ditiru dari jarak dekat! Supaya tidak salah tiru. Kristus memberi diri menjadi teladan, maka Dia hidup dekat dengan orang-orang sekelilingNya. Demikian juga dengan mencuci kaki, ini adalah suatu tindakan yang membutuhkan posisi tubuh yang sangat dekat sekali. Kita tidak akan bisa jadi teladan bila kita berdiri jauh tinggi di menara gading. Kristus sendiri harus turun ke dunia, menjadi pribadi yang dekat dan ber-relasi secara “personal” dengan orang di sekelilingnya.
Teladan memang harus dilihat dari dekat! Tapi resikonya kalau dilihat dari dekat, maka ada resiko menerima penghinaan, tidak dihargai dan dimanipulasi oleh orang yang dengannya kita ber-relasi. Tapi bukankah itu juga yang terjadi pada Tuhan Yesus ketika Dia berada di tengah-tengah manusia yang melihat Dia dari dekat? Dari tempat yang kudus Dia turun ke dunia supaya orang melihat Dia dari dekat. Tapi setelah dekat, orang memanipulasi Dia: hanya minta berkatNya tapi tidak minta pengampunanNya, bahkan menyalibkan Dia.
Sahabatku, walau resikonya berat, tapi mari belajar menjadi teladan bagi orang-orang yang sehari-harinya ada disekitar kita. Sudahkah perbuatan dan perkataan anda memimpin orang kepada Tuhan? Sudahkah orang lain tercerahkan pikirannya, atau terinspirasi dengan kehidupan yang transparan yang jelas terlihat dalam hidup anda?
(4) Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya,
(5) kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.
Jadilah Teladan
Dunia ini sering mengajarkan kita memimpin dengan kuasa, dengan status, dengan kedudukan. Itu sebabnya pemahaman yang umumnya orang milki tentang kepemimpinan adalah berkaitan erat dengan “kedudukan” atau “status”. Sehingga ketika orang bicara tentang kepemimpinan, kita berpikir itu tidak relevan untuk kita karena kita merasa diri kita tidak punya jabatan dan kedudukan apa-apa dalam kepemimpinan. Ini pemikiran yang salah: kepemimpinan tidak harus berjalan didalam jabatan atau status atau kedudukan. Karena ada orang-orang tertentu dalam komunitas yang tidak punya jabatan dan status kepemimpinan dalam komunitasnya, tapi pendapatnya selalu didengar dan diikuti oleh orang sekitarnya.
Disini kita melihat Tuhan Yesus memimpin tidak dengan power, status, jabatan, kedudukan. Tapi Dia memimpin dengan teladan. Apakah yang Kristus lakukan? Dalam ayat 4-5 yang kita baca, terdapat beberapa kata kerja yang penting yang menjelaskan apa yang Tuhan lakukan: “bangun, menanggalkan, mengambil, mengikat, menuangkan dan membasuh”. Dia tidak bicara, bahkan tidak pakai kata pengantar dari apa yang dilakukanNya.
Sebenarnya mencuci kaki bukanlah pekerjaan seorang “pemimpin” tapi budak. Di rumah orang-orang Yahudi selalu ada air didepan rumah, dan seorang budak bertugas mencuci kaki tamu-tamu yang masuk. Sepertinya tidak ada budak di rumah itu. Tapi mengapa harus Tuhan? Di Lukas 22:24 murid-murid sedang berdebat, siapakah yang terbesar diantara mereka. Tentu tidak ada yang terpikir buat mereka untuk mengambil posisi budak dan mencuci kaki orang lain karana masing-masing mereka sibuk memikirkan posisi dan kedudukan yang terbesar diantara mereka.
Disini kita melihat pola kepemimpinan Kristus yang memimpin dengan teladan. Teladan bukan suatu perbuatan tersembunyi. Teladan itu nyata, tapi juga bukan “pamer”. Suatu tindakan yang sifatnya “pamer” tidak akan jadi teladan. Teladan akan membuat orang lain terinspirasi, tercerahkan dan tersadarkan. Ini berbeda dengan “pamer”. Karena pamer dilakukan bukan supaya orang lain tersadarkan, tapi supaya orang tersebut meninggikan dirinya. Tindakan “pamer” tidak akan lama, karena orang yang melakukan perbuatan baik hanya untuk mendapatkan simpati, cepat atau lambat akan merasa lelah, bahkan jadi mundur ketika orang lain tidak memperhatikanya, karena tujuannya memang untuk diperhatikan.
Tuhan pernah mengatakan “ikutlah Aku”, itu berarti menyangkut seluruh kehidupan termasuk karakter dan perbuatan Kristus. Dia merupakan model yang kita tiru yang memimpin kita ke arah seperti Dia. Model harus ditiru dari jarak dekat! Supaya tidak salah tiru. Kristus memberi diri menjadi teladan, maka Dia hidup dekat dengan orang-orang sekelilingNya. Demikian juga dengan mencuci kaki, ini adalah suatu tindakan yang membutuhkan posisi tubuh yang sangat dekat sekali. Kita tidak akan bisa jadi teladan bila kita berdiri jauh tinggi di menara gading. Kristus sendiri harus turun ke dunia, menjadi pribadi yang dekat dan ber-relasi secara “personal” dengan orang di sekelilingnya.
Teladan memang harus dilihat dari dekat! Tapi resikonya kalau dilihat dari dekat, maka ada resiko menerima penghinaan, tidak dihargai dan dimanipulasi oleh orang yang dengannya kita ber-relasi. Tapi bukankah itu juga yang terjadi pada Tuhan Yesus ketika Dia berada di tengah-tengah manusia yang melihat Dia dari dekat? Dari tempat yang kudus Dia turun ke dunia supaya orang melihat Dia dari dekat. Tapi setelah dekat, orang memanipulasi Dia: hanya minta berkatNya tapi tidak minta pengampunanNya, bahkan menyalibkan Dia.
Sahabatku, walau resikonya berat, tapi mari belajar menjadi teladan bagi orang-orang yang sehari-harinya ada disekitar kita. Sudahkah perbuatan dan perkataan anda memimpin orang kepada Tuhan? Sudahkah orang lain tercerahkan pikirannya, atau terinspirasi dengan kehidupan yang transparan yang jelas terlihat dalam hidup anda?
Subscribe to:
Posts (Atom)